I. Latar Belakang
Indonesia sebagai suatu negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.508 pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Ekosistem pesisir dan laut memiliki keunikan, serta mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Oleh karena itu wilayah pesisir dan laut merupakan salah satu tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Ekosistem pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (organisme hidup) dan nir-hayati (fisik), mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nir-hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem yang dikenal dengan ekosistem atau sistem ekologi (Odum, 1971). Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Sehubungan dengan manfaat ekologis dan ekonomis penting tersebut, maka ekosistem pesisir sudah selayaknya untuk dipertahankan keberadaan dan kualitasnya.
Salah satu ekosistem utama di wilayah pesisir adalah terumbu karang. Terumbu karang memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan (spawning ground), tempat pengasuhan dan tumbuh besar (nursery ground), dan tempat mencari makanan (feeding ground) bagi beragam biota laut. Disamping itu, terumbu karang berperan sebagai pelindung pantai atau penahan abrasi bagi wilayah daratan.
Epifauna merupakan salah satu penghuni dasar laut, cara hidupnya yang relatif menetap, baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan karena epifauna relatif peka terhadap perubahan lingkungan perairan dan mudah untuk diidentifikasi. Epifauna berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi, dari alga sampai konsumen tingkat tinggi atau disebut dengan jaring makanan (Food web).
Enu merupakan nama suatu desa yang berada di Sulawesi-Tengah, dimana pesisirnya dimanfaatkan sebagai pemukiman, pariwisata dan daerah tangkapan ikan. Akibat dari aktivitas di daerah tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya degradasi fisik habitat dan menurunkan potensi sumberdaya yang terkandung di dalamnya, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kehidupan organisme di wilayah tersebut.
Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota seperti berbagai jenis crustacea, siput, kerang-kerangan, bulu babi, teripang, bintang laut dan sebagainya. Melihat peranan penting terumbu karang dalam rantai makanan pada ekosistem pesisir, maka diperlukan suatu penelitian khusus di daerah pesisir Enu agar diperoleh informasi yang lebih terperinci tentang sebaran epifauna dan terumbu karang di daerah tersebut serta interaksi antara epifauna dan terumbu karang dengan lingkungannya sehingga dapat mempertahankan keberadaan dan kualitas ekosistem tersebut.
1.2 Pendekatan Masalah
Pesisir Enu sebagai salah satu lokasi dengan pemanfaatan beragam seperti pemukiman, pariwisata dan daerah tangkapan ikan, dari aktivitas tersebut diduga akan mempengaruhi lingkungan perairan sehingga dapat menyebabkan adanya perbedaan sebaran epifauna dan terumbu karang di masing-masing stasiun penelitian.
Pendekatan masalah selanjutnya yaitu dalam proses manajemen dibutuhan informasi sumberdaya wilayah pesisir mulai dari informasi sebaran, jenis biota yang ada di daerah tersebut serta kondisinya. Informasi itu digunakan untuk melihat potensi sumberdaya pesisir di wilayah tersebut demi tujuan pembangunan, serta pemanfaatan sumberdaya alam pesisir yang berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat.
1.3 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan informasi tentang sebaran epifauna dan terumbu karang sehingga dapat dijadikan bahan masukan dalam membantu proses analisis bagi pemerintah daerah serta instansi terkait dalam pengambilan keputusan mengenai aspek tata ruang ekologi, perencanaan, pengembangan, pemanfaatan sumberdaya alam, serta dapat menjadi tambahan informasi dan wacana untuk penelitian lebih lanjut mengenai sebaran epifauna dan terumbu karang untuk upaya pengelolaan wilayah pesisir khususnya dalam hal pemantauan dan inventarisasi epifauna dan terumbu karang di pesisir Enu Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi-Tengah.
2.1 Tinjauan Tentang Terumbu Karang dan Epifauna di Pesisir
Terumbu karang adalah suatu ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCo3) khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur. Terumbu karang bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis-jenis molusca, crustacea, echinidermata, polichaeta, porifera serta biota-biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis ikan (Bengen, 2001).
Jumlah spesies terumbu karang yang terbesar berada di Indo-Pasifik, termasuk di dalamnya Kepulauan Filipina, Kepulauan Indonesia, Nugini dan bagian utara Australia. Penyebaran terumbu karang di dunia hampir semua dibatasi oleh temperatur permukaan 20 oC, perkembangan terumbu karang yang paling optimal terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya 23-30 oC (Nybakken, 1992).
Menurut Bengen (2001) Secara umum terumbu karang terdiri atas tiga tipe : (a) terumbu karang tepi (fringing reef), (b) terumbu karang penghalang (barrier reef), dan (c) terumbu karang cincin atau atol. Habitat terumbu karang khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Peranan utama terumbu karang sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. Komposisi biota yang menempati terumbu karang beraneka ragam, diantaranya dapat dilihat pada Gambar 3.
Biota yang menempati terumbu karang diantaranya : bulu babi, teripang, bintang laut, lili laut, kima, udang, kepiting, kerang, alga coklat, alga hijau berkapur, lamun, cambuk laut, kipas laut, ikan-ikan karang, cacing Polychaeta, Bryzoa, karang batu, karang bercabang, karang api dan sebagainya (Bengen, 2001). Biota tersebut membentuk jala makanan di ekosistem terumbu karang dapat dilihat pada Gambar 4.
Antara plankton, nekton dan benthos terdapat jalinan hayati yang rumit tercermin dalam jaringan atau rantai makanan. Rantai makanan merupakan proses pemindahan energi makanan dari sumbernya melalui serangkaian aktivitas dengan cara makan dan dimakan yang berulang kali (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Mulai dari sumber makanan yaitu dari tumbuh-tumbuhan yang mampu merubah zat anorganik menjadi zat organik melalui proses fotosintesis. Hewan memanfaatkan zat organik dengan memakan tumbuh-tumbuhan, selanjutnya hewan tersebut dimakan oleh hewan yang lebih besar dan seterusnya. Hewan yang besar yang tidak dimakan oleh hewan lain, akhirnya akan mati dan terurai oleh bakteri menjadi zat anorganik kembali untuk dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan (Bengen, 2001).
3.1 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Ronny (2005) metode deskriptif adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi dan kejadian yang diteliti atau dikaji pada waktu terbatas dan tempat tertentu untuk mendapatkan gambaran tentang situasi dan kondisi secara lokal dengan menunjukan berbagai variasi. Metode pengambilan sampel yang digunakan dengan sistematik sampling, yaitu anggota sampel diambil dengan cara memilih secara acak dari populasi pada jarak, ruang, dan urutan yang seragam dengan anggapan bahwa populasi yang padat dan jarang dapat terwakili. Diharapkan dengan menggunakan metode sistematik sampling akan didapatkan sampel yang mewakili populasi yang diamati (Bengen, 2000).
Penelitian ini dibagi dalam 2 tahap, yaitu: (1) tahap pengambilan data di lapangan meliputi: (a) pengambilan contoh substrat, (b) pengumpulan epifauna, (c) mengukur penutupan dasar, dan jumlah individu epifauna per m2; (2) tahap berikutnya pengamatan di laboratorium meliputi: (a) analisis tekstur sedimen, (b) identifikasi epifauna, (c) analisis klorofil-a dan (d) analisis muatan padatan tersuspensi.
3.2 Penentuan stasiun pengamatan
Penentuan posisi stasiun pengamatan dilakukan dengan survei terlebih dahulu untuk menentukan lokasi yang akan dijadikan obyek penelitian. menentukan titik sampling dilakukan berdasarkan garis lintang dan garis bujur yang diketahui dengan GPS (Global Positioning System). Panjang garis pantai pesisir Enu + 4,0 Km dan yang diamati + 4,0, pengamatan dilakukan pada 8 stasiun dengan jarak antara satasiun + 500 m. Pada masing-masing stasiun dibuat 3 garis transek dengan jarak tiap transek 1 m digunakan untuk pengamatan terumbu karang dan 5 m digunakan untuk pengamatan epifauna di pesisir. Selanjutnya setiap titik sampling diambil gambarnya dengan menggunakan kamera digital dan dicatat dalam log book mengenai kelimpahan epifauna, penutupan karang, dan masing-masing posisinya.
3.3 Gambaran Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan pantai yang memiliki tanjung pada stasiun I dan II, sedangkan pada stasiun III-VIII merupakan pantai terbuka. Pesisir Enu berada sebelah barat dari Pulau Sulawesi. Daerah tersebut merupakan wilayah perairan Selat Makassar. Pantai Enu termasuk pantai yang dalam dan gelombang yang besar, sehingga cukup sulit dalam melakukan taransek. Pengamatan epifauna dan terumbu karang yang dilakukan di lapangan menggunakan Line Intercept Ttransect (LIT) atau Metode membatasi daerah sampel dengan transek garissedangkan di laboratorium untuk pengamatan epifauna menggunakan cara identifikasi epifauna dengan mikroskop, lup dan buku identifikasi epifauna adalah Sea Shells Of Southeast Asia (Tucker Abbott, 1991),
3.4 Pengambilan contoh substrat
Contoh substrat diambil menggunakan sekop kecil mencapai kedalaman + 10 cm dengan luasan kurang lebih 10 cm x 10 cm. Contoh substrat diambil tiap stasiun satu kantung plastik, ada delapan stasiun pengamatan. Analisis contoh substrat dilakukan di laboratorium MSP FPIK-UNDIP yakni analisis penentuan tipe substrat yang dibedakan menjadi 3 fraksi (pasir, debu dan liat) dikelompokkan dalam segitiga tekstur sedimen.
Gambar Segitiga Tekstur Sedimen (Brower dan Zar, 1977)
3.5 Analisa Data
3.5.1 Prosentase jumlah penutupan karang hidup
Prosentase penutupan dapat menggambarkan prosentase luas area yang ditutupi oleh terumbu karang yang dilewati garis transek, dirumuskan oleh Bouchon (1981) in UNEP (1993) sebagai berikut :
Selanjutnya mengukur indeks Keanekaragaman dengan rumus :
Analisa Korelasi dengan rumus :
4.1 Hasil Dan Pembahasan
Desa Enu terletak pada ketinggian 0 sampai 15 m di atas permukaan laut, dengan panjang garis pantai 4,0 Km. Secara geografi desa Enu merupakan desa di pesisir yang sebelah timur desa tersebut merupakan wilayah pegunungan. Desa Enu merupakan salah satu desa yang berdekatan dengan garis katulistiwa dengan luas wilayah desa Enu adalah 716,42 Ha. Wilayah pesisir desa Enu dimanfaatkan untuk pemukiman, daerah wisata dan daerah penangkapan ikan serta hasil laut lainnya. Berdasarkan aktivitas masyarakat setempat baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan epifauna dan terumbu karang di perairan tersebut. Pesisir Enu merupakan wilayah yang memiliki tanjung sehingga dipinggiran tanjung tersebut ditemukan hamparan terumbu karang. Sekitar tanjung tersebut merupakan perairan jernih sehingga oleh pemerintah setempat dijadikan kawasan wisata.
4.2 Analisa Tekstur Sedimen
Analisis tekstur sedimen diujikan di laboratorium MSP, FPIK-UNDIP diperoleh data seperti pada tabel dibawah ini.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa jenis tekstur sedimen pada delapan stasiun penelitian adalah pasir, yang terdiri dari pasir kasar, pasir sedang, pasir halus dan pasir sangat halus. Perbedaan tekstur antara stasiun adalah pada ukuran butiran pasirnya dan warna teksturnya. Diperoleh prosentase masing-masing tekstur yakni : Pasir 100% debu 0% dan liat 0%.
4.3 Distribusi Epifauna
Distribusi atau penyebaran dapat dianggap sebagai suatu bidang dari kelimpahan dan mempunyai hubungan yang timbal balik. Epifauna yang ditemui dilapangan dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Pada satsiun 2 diperoleh data :
Dari data di atas diperoleh hasil indeks Keanekaragaman dan Keseragaman sebagai berikut :
4.4 Penutupan Dasar Peraiaran Dan Komposisi Jenis.
Penutupan Dasar Perairan dan Komposisi Jenis Daerah penarikan sampel merupakan daerah karang tepi (fringing reef) dengan material dasar berupa karang hidup, karang mati, pecahan karang, dan pasir. Komposisi jenis merupakan prosentase penutupan karang hidup pada tiap jenisnya yang menggambarkan besarnya penutupan jenis karang yang ditemukan di lokasi tersebut. Penutupan dasar perairan di pesisir Enu dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Prosentase penutupan dasar tertinggi untuk karang hidup pada stasiun I yakni 28,24 m2 dengan prosentase sebesar 94,13%, karang mati 0,41 m2 dengan prosentase sebesar 1,36%, pecahan karang 0,00 m2 dengan prosentase sebesar 0,00%, dan pasir 1,35 m2 dengan prosentase sebesar 4,50%. Sedangkan pada stasiun II penutupan karang hidup 21,90 m2 dengan prosentase sebesar 73,00%, karang mati 0,41 cm2 dengan prosentase sebesar 4,50%, pecahan karang 2,76 m2 dengan prosentase sebesar 9,20%, pasir 3,99 m2 dengan prosentase sebesar 13,30%. Pada stasiun III-VIII prosentase penutupan terendah untuk karang hidup, karang mati dan pecahan karang, untuk pasir prosentase penutupannya sebesar 100%. Komposisi jenis karang hidup berdasarkan genus yang ditemukan di pesisir Enu pada stasiun I dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Dapat dilihat bahwa jenis karang yang paling sering dijumpai adalah Acropora dengan prosentase penutupan sebesar 18,89%, sedangkan jenis yang prosentase penutupannya terendah yakni Favia, Goniopora, Porites, dan Polyphyliadengan prosentase penutupan sebesar 2,22%. Dapat dibandingkan dengan hasil transek pada stasiun II. Komposisi jenis karang hidup berdasarkan genus yang ditemukan di pesisir Enu pada stasiun II dapat dilihat pada grafik berikut ini.
Berdasarkan Grafik diatas dapat dilihat penutupan karang hidup pada stasiun II yakni jenis Acropora dengan prosentase penutupan sebesar 18,75%, sedangkan jenis karang yang paling kecil prosentase penutupannya yakni jenis Achanthastrea, Cosnicarae, Galaxea dan Leptoria dengan prosentase penutupan sebesar 2,50%. Pada stasiun II terlihat ada tumpukan pecahan karang, pada tabel penutupan dasar terlihat ada 2,76 m2 pecahan karang dengan prosentase 9,2% dari 30 m2. Menurut warga setempat di perairan Enu sering terjadi aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyak pecahan karang yang terdapat di pinggiran pantai yang dapat dilihat pada gambar berikut.
Nilai indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman untuk terumbu karang pada masing-masing stasiun dapat dilihat pada tabel berikut.
hasil Pengukuran Parameter Lingkungan yang diperoleh adalah sebagai berikut.
Peta yang digunakan dalam menentukan posisi titik sampling berasal dari Citra Landsat tahun 2003, yang kemudian di crop dan diberi posisi titik sampling yang menjadi lokasi penelitian. Peta posisi titik sampling tersebut digunakan untuk melihat pada posisi lintang dan bujur yeng ditemui epifauna dan terumbu karang di pesisir. Posisi titik sampling diperoleh dengan survei ke lapangan dan direkam posisinya menggunakan GPS (Global Positioning System).
Posisi titik sampling yang ditemui epifauna dan terumbu karang adalah pada stasiun I (00o 31’ 02,09” LS, 119o 46’ 04,02” BT) dan stasiun II (00o 31’ 52,04” LS, 119o 46’ 31,06” BT), sedangkan pada stasiun III (00o 32’ 08,02” LS, 119o 46’ 40,05” BT), stasiun IV (00o 32’ 25,00” LS, 119o 46’ 45,00” BT), stasiun V (00o 32’ 40,05” LS, 119o 46’ 50,09” BT), stasiun VI (00o 32’ 55,04” LS, 119o 46’ 57,09” BT), stasiun VII (00o 33’ 11,00” LS, 119o 47’ 03,01” BT), stasiun VIII (00o 33’ 27,00” LS, 119o 47’ 07,01” BT) tidak ditemui epifauna dan terumbu karang.
Pada stasiun yang ditemui epifauna dan terumbu karang dicirikan dengan daerah yang berdekatan dengan tanjung, dengan kecepatan arus berkisar antara 3,27-3,56 m/s, pada kecerahan 200 cm atau 100%, pada pH 6,2-6,3, dengan kandungan klorofil-a 0,09-0,11 mg/m3, serta dengan MPT 0,21-0,22 mg/L Sedangkan titik sampling yang tidak ditemui epifauna dan terumbu karang, memiliki ciri daerah pantai yang terbuka, dengan kecepatan arus berkisar antara 2,22-2,39 m/s, pada pH 6,4-6,7, pada kecerahan 80-85 cm, dengan kandungan klorofil-a 0,05-0,08 mg/m3, serta dengan MPT 31-43 mg/L.
5.1 Kesimpulan Dan Saran
5.1.1 Kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
-
- Sebaran epifauna dan terumbu karang di pesisir Enu Sulawesi Tengah dari delapan stasiun, ditemukan hanya pada stasiun I dan II dengan kelimpahan individu untuk epifauna pada stasiun I sebanyak 182 epifauna dan stasiun II sebanyak 91 epifauna per 900 cm2. Pada stasiun I indeks keanekaragaman sebesar 2,68 indeks keseragaman sebesar 0,83, dan pada stasiun II indeks keanekaragaman sebesar 3,15, indeks keseragaman sebesar 0,94, menunujukan pada stasiun I dan II perairannya masih baik. Penutupan dasar untuk terumbu karang per 3000 cm2, pada stasiun I terdiri dari : (a) karang hidup 2824 cm2, (b) karang mati 41 cm2, (c) pecahan karang 0 cm2, (d) pasir 135 cm2. Pada stasiun II : (a) karang hidup 2190 cm2, (b) karang mati 135 cm2, (c) pecahan karang 276 cm2, (d) pasir 399 cm2.
-
- Dari hipotesa penelitian bahwa parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu kolom air, salinitas, kecepatan arus, pH, kecerahan, kandungan klorofil-a, dan muatan padatan tersuspensi memiliki hubungan dengan kelimpahan epifauna dan kelimpahan terumbu karang.
5.1.2 Saran.
-
- Perlunya pengelolaan pesisir yang lebih lanjut dan berkesinambungan di pesisir Enu, agar dampak dari aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat tidak mengganggu kehidupan epifauna dan terumbu karang.
-
- Perlu dilakukan suatu penelitian lanjutan dengan melihat keterkaitan faktor fisika-kimia yang lain terhadap kelimpahan epifauna dan terumbu karang serta lingkungan sosialnya untuk mendukung keakuratan data yang diperoleh di pesisir Enu Provinsi Sulawesi-Tengah.
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.